Jujur....
Aku tak kuasa, saat terakhir kudengar suaramu
Namun yang pasti terjadi
Kita mungkin tak bersama lagi
Bila nanti esok hari
Kutemukan dirimu bahagia
Ijinkan aku titipkan
Rasa cinta kita,.....selamanya
Sepertinya memang itu yang harus kualami sekarang,dan mau tidak mau harus kuterima. Berat sekali sebenarnya beban yang harus kutanggung untuk ini, tapi tidak ada jalan lain lagi.
Seandainya dia masih mau menerima.....
Hanya satu inginnya hatiku
Hanya satu inginnya cintaku
Terima sebagaimana adanya diriku
Dan ku akan tetap mencinta
Kau yang membuat ku mengerti
Di mana harus kukembali
Saat kuhancur dan terhempas
Di kesalahan yang sama....
Hanya dia sebenarnya yang begitu mengerti aku, mau menerima diriku disaat terburuk sekalipun.
Feb tunggu ki' kembali.......Princess
Kamis, 18 Desember 2008
Senin, 08 Desember 2008
Selamat jalan, Nek Bapa
Seminggu yang lalu, tepatnya 25 November 2008, perjuangan Nek Bapak melawan penyakitnya berakhir sudah. Segala sakit penyakit yang dideritanya selama ini kini hilang seiring dipanggilnya jiwa yang selama ini bersemayam dalam raganya oleh "Sang Pemilik Hidup".
Nek Bapak sekarang sudah tidak lagi harus menahan sakit, atau tersiksa disaat merasa suit untuk bernafas. Kini dia sudah memperoleh hidup yang kekal bersama Tuhan di atas sana. Beliau juga akhirnya bisa melepas rindu dengan salah seorang menantunya yang telah lebih dulu berada di sana, my beloved Father. Ya, suami dari anaknya yang ketiga, suami dari Ibu saya.
Satu hal yang membuatku merasa sedikit tenang dengan kepergian Nek Bapak adalah cerita dari Ibuku tentang saat-saat terakhir ketika bagaimana dia mengembalikan jiwanya kepada Tuhan dengan begitu indah. Dikelilingi oleh kelima anaknya, tanpa anak yang tertua, Tanteku yang bertugas sebagai Pendeta di Jerman, dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan begitu tenang, sambil dibantu oleh Ibuku untuk terus berserah kepada Tuhan Yesus, walaupun dengan suara yang terbata, beliau tetap berusaha untuk bisa berucap setidaknya untuk terakhir kali, bahwa beliau tetap menyembah Tuhan Yesus bahkan hingga akhir hayatnya, sungguh luar biasa tatkala rangkaian kata2 tersebut berhasil diucapkannya sebelum nafas terakhir ditariknya. Kata penutup yang diucapkan pun begitu manis, "Haleluya...". Seolah meng-Amienkan dan menyerahkan raganya hanya kepada "Raja-nya"
Tidak ada kematian yang begitu indah selain mati di dalam nama-Nya......
Selamat jalan, Nek Bapak, tuntun kami anak-anak dan cucu-cucumu untuk menjalani hari dengan lebih baik dari atas sana.
O, iya...titipkan salam juga buat Bapak di sana, semoga saat ini saya sudah cukup membuatnya tersenyum dengan apa yang sudah saya capai sejauh ini.
Tuhan Memberkati...
Nek Bapak sekarang sudah tidak lagi harus menahan sakit, atau tersiksa disaat merasa suit untuk bernafas. Kini dia sudah memperoleh hidup yang kekal bersama Tuhan di atas sana. Beliau juga akhirnya bisa melepas rindu dengan salah seorang menantunya yang telah lebih dulu berada di sana, my beloved Father. Ya, suami dari anaknya yang ketiga, suami dari Ibu saya.
Satu hal yang membuatku merasa sedikit tenang dengan kepergian Nek Bapak adalah cerita dari Ibuku tentang saat-saat terakhir ketika bagaimana dia mengembalikan jiwanya kepada Tuhan dengan begitu indah. Dikelilingi oleh kelima anaknya, tanpa anak yang tertua, Tanteku yang bertugas sebagai Pendeta di Jerman, dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan begitu tenang, sambil dibantu oleh Ibuku untuk terus berserah kepada Tuhan Yesus, walaupun dengan suara yang terbata, beliau tetap berusaha untuk bisa berucap setidaknya untuk terakhir kali, bahwa beliau tetap menyembah Tuhan Yesus bahkan hingga akhir hayatnya, sungguh luar biasa tatkala rangkaian kata2 tersebut berhasil diucapkannya sebelum nafas terakhir ditariknya. Kata penutup yang diucapkan pun begitu manis, "Haleluya...". Seolah meng-Amienkan dan menyerahkan raganya hanya kepada "Raja-nya"
Tidak ada kematian yang begitu indah selain mati di dalam nama-Nya......
Selamat jalan, Nek Bapak, tuntun kami anak-anak dan cucu-cucumu untuk menjalani hari dengan lebih baik dari atas sana.
O, iya...titipkan salam juga buat Bapak di sana, semoga saat ini saya sudah cukup membuatnya tersenyum dengan apa yang sudah saya capai sejauh ini.
Tuhan Memberkati...
Kamis, 20 November 2008
Will I Lost Them Forever..??
Hari ini lagi-lagi merupakan hari yang begitu berat untuk kujalani. Pertama kali kubuka mata pagi ini, hanya satu hal yang menjadi beban pikiranku untuk memulai hari.
Saya merasa akan kehilangan mereka....
Dua hari yang lalu, masalah kembali menghantam hubunganku dengan dia, my Princess, saya sebut saja dia Princess, selain karena dia sudah kuanggap seorang Puteri di hatiku, dia memang kenyataannya adalah seorang Puteri, dengan predikat tertentu.
Kembali ke topik, beberapa waktu terakhir ini kami memang selalu saja terbakar emosi, mungkin hanya hal-hal yang sepele, tapi bagiku, tak tahu bagaimana menurut dia, tapi bagi saya ini adalah hal yang besar. Sepertinya ini adalah akibat dari jarak yang begitu jauh yang memisahkan kami sejak lama. Segala sesuatu menjadi semakin kompleks dan parah. Sudah sangat jarang lagi berpikir memakai hati nurani.
Dari dasar hati saya akui masih sayang sama dia, sangat sayang malah. Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk memulai pertengkaran apalagi mengambil tindakan untuk berpisah. Tapi mungkin emosi kami berdua yang akhirnya memutuskan seperti itu. Kami sepakat untuk "istirahat" dari hubungan kami. Dengan alasan untuk introspeksi diri, berpikir jernih, dan lain-lain. Sungguh berat sebenarnya kalau saya harus menerima keputusan ini, tapi saya juga ingin semuanya menjadi lebih baik untuk kami, saya selalu berharap suatu hari ini akan berakhir dengan baik.
Tapi selama 2 hari ini terasa sangat sepi tanpa suara darinya, tanpa SMS yang masuk darinya. Apa mungkin dia sudah menikmati dengan keadaan kami seperti ini? Apakah ini berarti saya harus siap untuk kehilangan dia..?
Belum cukup sampai disitu, semalam saya mendapat telepon dari Ibu saya bahwa keadaan Nenek Bapak semakin drop. Kesadarannya mulai hilang dan semakin susah bernafas. Keluarga juga sepertinya sudah pasrah, begitu pula Nenek Bapak yang sedari awal tidak mau dirujuk ke Rumah Sakit Besar karena tidak ingin menyusahkan kami semua. Akhirnya tadi pagi saya dengar kalau seorang Pendeta sudah dipanggil untuk mendoakan beliau, kasarnya untuk sebuah pelepasan.
Sampai tulisan ini saya posting, masih belum ada kabar dari keluarga mengenai kondisinya. Sampai kabar terburuk itu datang, saya masih berharap yang datang lebih dulu adalah keajaiban. Saya tidak ingin kehilangan Nenek Bapak, setidaknya sampai suatu saat yang belum pasti, di mana kami masih bisa dipertemukan kembali. Saya juga sangat ingin beliau masih dapat menikmati indahnya Natal tahun ini. Sekiranya itu terjadi, Natal tahun ini akan menjadi kado Natal terindah bagi keluarga kami, terlebih untuk saya pribadi, yang sepertinya tidak bisa melewatkan Natal bersama semua keluarga.
Oh, God....tolong jangan sampai saya kehilangan mereka....orang-orang yang sangat saya sayangi. Merekalah salah satu alasan yang mendorong saya untuk berpisah jauh dari keluarga untuk mencoba membangun masa depanku di Pulau Bali.
Semoga Tuhan mendengar doaku ini....AMIEN...
Saya merasa akan kehilangan mereka....
Dua hari yang lalu, masalah kembali menghantam hubunganku dengan dia, my Princess, saya sebut saja dia Princess, selain karena dia sudah kuanggap seorang Puteri di hatiku, dia memang kenyataannya adalah seorang Puteri, dengan predikat tertentu.
Kembali ke topik, beberapa waktu terakhir ini kami memang selalu saja terbakar emosi, mungkin hanya hal-hal yang sepele, tapi bagiku, tak tahu bagaimana menurut dia, tapi bagi saya ini adalah hal yang besar. Sepertinya ini adalah akibat dari jarak yang begitu jauh yang memisahkan kami sejak lama. Segala sesuatu menjadi semakin kompleks dan parah. Sudah sangat jarang lagi berpikir memakai hati nurani.
Dari dasar hati saya akui masih sayang sama dia, sangat sayang malah. Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk memulai pertengkaran apalagi mengambil tindakan untuk berpisah. Tapi mungkin emosi kami berdua yang akhirnya memutuskan seperti itu. Kami sepakat untuk "istirahat" dari hubungan kami. Dengan alasan untuk introspeksi diri, berpikir jernih, dan lain-lain. Sungguh berat sebenarnya kalau saya harus menerima keputusan ini, tapi saya juga ingin semuanya menjadi lebih baik untuk kami, saya selalu berharap suatu hari ini akan berakhir dengan baik.
Tapi selama 2 hari ini terasa sangat sepi tanpa suara darinya, tanpa SMS yang masuk darinya. Apa mungkin dia sudah menikmati dengan keadaan kami seperti ini? Apakah ini berarti saya harus siap untuk kehilangan dia..?
Belum cukup sampai disitu, semalam saya mendapat telepon dari Ibu saya bahwa keadaan Nenek Bapak semakin drop. Kesadarannya mulai hilang dan semakin susah bernafas. Keluarga juga sepertinya sudah pasrah, begitu pula Nenek Bapak yang sedari awal tidak mau dirujuk ke Rumah Sakit Besar karena tidak ingin menyusahkan kami semua. Akhirnya tadi pagi saya dengar kalau seorang Pendeta sudah dipanggil untuk mendoakan beliau, kasarnya untuk sebuah pelepasan.
Sampai tulisan ini saya posting, masih belum ada kabar dari keluarga mengenai kondisinya. Sampai kabar terburuk itu datang, saya masih berharap yang datang lebih dulu adalah keajaiban. Saya tidak ingin kehilangan Nenek Bapak, setidaknya sampai suatu saat yang belum pasti, di mana kami masih bisa dipertemukan kembali. Saya juga sangat ingin beliau masih dapat menikmati indahnya Natal tahun ini. Sekiranya itu terjadi, Natal tahun ini akan menjadi kado Natal terindah bagi keluarga kami, terlebih untuk saya pribadi, yang sepertinya tidak bisa melewatkan Natal bersama semua keluarga.
Oh, God....tolong jangan sampai saya kehilangan mereka....orang-orang yang sangat saya sayangi. Merekalah salah satu alasan yang mendorong saya untuk berpisah jauh dari keluarga untuk mencoba membangun masa depanku di Pulau Bali.
Semoga Tuhan mendengar doaku ini....AMIEN...
Senin, 10 November 2008
Nenek Bapak
Hari ini saya dibangunkan dengan deringan handphoneku. Kulihat nama ibuku tertulis di sana. Seperti biasa dia menyapa dengan suaranya yang begitu akrab di telingaku. Dia bertanya kenapa saat waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi saya masih menikmati ranjang di kos2anku. Setelah menjelaskan kalau saya berangkat kantor jam 8.30 baru dia mengerti.
Satu hal yang kutunggu saat keluargaku menelepon adalah kabar mengenai keadaan Nenek Bapak (Nenek Bapak adalah panggilan di keluargaku yang ditujukan untuk Kakek). Sudah beberapa hari ini memang beliau terbaring di rumah sakit karena penyakit asma yang dideritanya semakin parah.
Seketika rasa ngantuk saat kuangkat telepon dari ibuku sirna saat ibuku berkata, " Ry, bicara sama Nek Bapak yah, tapi Nek Bapak sudah tidak bisa keluarkan suara lagi, tegur2 saja dia...."
Jantungku serasa berhenti saat ibuku berkata seperti itu, Nenek Bapak sudah tidak bisa bicara?, sudah separah itukah keadaannya?
Saat ibuku mendekatkan handphone nya ke telinga Nenek Bapak, saya mulai menegur beliau. Kesedihan begitu besar menghinggapiku saat pertama kudengar suaranya. Air mataku hampir saja mengalir di pagi itu saat suara khas Nenek Bapak yang sering kudengar itu seketika berubah hanya menjadi lenguhan dan terbata-bata. Tidak terdengar jelas apa yang diucapkannya, dia seperti menahan sakit yang amat sangat dan pernapasan yang terhambat. Tapi saya tahu dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa membalas teguranku. Saya pun bisa menangkap sedikit apa yang berusaha ingin diucapkannya.
" Halo nak......" saya tahu itu yang pertama kali diucapkannya, tentu saja hanya dengan lenguhan dan terbata-bata, ucapannya yang pertama itulah yang membuatku merasa hancur oleh kesedihan.
Saya pun memintanya untuk tak memaksa bicara, saya hanya berkata pada beliau untuk tetap kuat, bahwa saya selalu mendoakannya dari sini, dan semoga kami masih bisa diberi kesempatan sama Tuhan untuk bisa bertemu lagi.
Beliau hanya bisa membalas dengan kata, "iya...", tetap dengan suara yang terbata-bata.
Tidak sampai semenit saya berbicara dengan beliau, sebelum saya menutup telepon, beliau masih sempat berkata, "baik-baik di sana nak......., da da ......" beliau mengakhiri kata2nya.
Setelah handphone kembali ke ibuku, saya masih sempat berbicara sebentar kemudian menutup panggilan tersebut.
Pagi ini merupakan pagi yang begitu berat untukku, mengingat kondisi Nenek Bapak yang terus menurun, but I have to walk straight ahead...Aku di Bali untuk bekerja, untuk menciptakan masa depanku agar lebih baik. Hanya doa saat ini yang bisa saya berikan untuk Nenek Bapak, semoga Tuhan Yesus berkenan untuk mendengar permohonanku.
Nenek Bapak, cepat sembuh nah.......We love you always..Tuhan Yesus memberkati
Satu hal yang kutunggu saat keluargaku menelepon adalah kabar mengenai keadaan Nenek Bapak (Nenek Bapak adalah panggilan di keluargaku yang ditujukan untuk Kakek). Sudah beberapa hari ini memang beliau terbaring di rumah sakit karena penyakit asma yang dideritanya semakin parah.
Seketika rasa ngantuk saat kuangkat telepon dari ibuku sirna saat ibuku berkata, " Ry, bicara sama Nek Bapak yah, tapi Nek Bapak sudah tidak bisa keluarkan suara lagi, tegur2 saja dia...."
Jantungku serasa berhenti saat ibuku berkata seperti itu, Nenek Bapak sudah tidak bisa bicara?, sudah separah itukah keadaannya?
Saat ibuku mendekatkan handphone nya ke telinga Nenek Bapak, saya mulai menegur beliau. Kesedihan begitu besar menghinggapiku saat pertama kudengar suaranya. Air mataku hampir saja mengalir di pagi itu saat suara khas Nenek Bapak yang sering kudengar itu seketika berubah hanya menjadi lenguhan dan terbata-bata. Tidak terdengar jelas apa yang diucapkannya, dia seperti menahan sakit yang amat sangat dan pernapasan yang terhambat. Tapi saya tahu dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa membalas teguranku. Saya pun bisa menangkap sedikit apa yang berusaha ingin diucapkannya.
" Halo nak......" saya tahu itu yang pertama kali diucapkannya, tentu saja hanya dengan lenguhan dan terbata-bata, ucapannya yang pertama itulah yang membuatku merasa hancur oleh kesedihan.
Saya pun memintanya untuk tak memaksa bicara, saya hanya berkata pada beliau untuk tetap kuat, bahwa saya selalu mendoakannya dari sini, dan semoga kami masih bisa diberi kesempatan sama Tuhan untuk bisa bertemu lagi.
Beliau hanya bisa membalas dengan kata, "iya...", tetap dengan suara yang terbata-bata.
Tidak sampai semenit saya berbicara dengan beliau, sebelum saya menutup telepon, beliau masih sempat berkata, "baik-baik di sana nak......., da da ......" beliau mengakhiri kata2nya.
Setelah handphone kembali ke ibuku, saya masih sempat berbicara sebentar kemudian menutup panggilan tersebut.
Pagi ini merupakan pagi yang begitu berat untukku, mengingat kondisi Nenek Bapak yang terus menurun, but I have to walk straight ahead...Aku di Bali untuk bekerja, untuk menciptakan masa depanku agar lebih baik. Hanya doa saat ini yang bisa saya berikan untuk Nenek Bapak, semoga Tuhan Yesus berkenan untuk mendengar permohonanku.
Nenek Bapak, cepat sembuh nah.......We love you always..Tuhan Yesus memberkati
Jumat, 07 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)